Teori Perilaku yang Direncanakan (Theory of Planned Behavior) By Fishbein dan Ajzen
Monday, August 26, 2019
Beberapa orang pemasaran sudah tidak asing dengan TPB. Theory of Planned Behavior (TPB) seringkali digunakan dalam berbagai penelitian (research) tentang perilaku. Biasanya TPB digunakan sebagai variabel intervening untuk menjelaskan intention (niat) seseorang yang kemudian menjelaskan perilaku orang tersebut. Artikel ini akan membahas TPB tersebut, dengan harapan bisa membantu mahasiswa atau peneliti yang akan menggunakan TPB sebagai variabel dalam penelitiannya.
Teori Perilaku yang Direncanakan (Theory of Planned Behavior) By Fishbein dan Ajzen |
Theory of Planned Behavior (TPB) merupakan perluasan dari Theory of Reasoned Action (TRA). Dalam TRA dijelaskan bahwa niat seseorang terhadap perilaku dibentuk oleh dua faktor utama yaitu attitude toward the behavior dan subjective norms (Fishbein dan Ajzen, 1975), sedangkan dalam TPB ditambahkan satu faktor lagi yaitu perceived behavioral control (Ajzen, 1991).
Theory of Planned Behavior
TPB sangat sesuai digunakan untuk menjelaskan berbagai perilaku di dalam kewirausahaan. Sebagaimana dikatakan oleh Ajzen (1991) bahwa TPB is suitable to explain any behavior which requires planning, such as entrepreneurship (TPB cocok untuk menjelaskan perilaku apa pun yang memerlukan perencanaan, seperti kewirausahaan).
Manusia biasanya berperilaku dengan cara yang masuk akal, mereka mempertimbangkan perilakunya berdasarkan informasi yang tersedia, dan secara implisit atau eksplisit juga mempertimbangkan akibat dari tindakan mereka (Ajzen, 2006). Ajzen (2005) menjelaskan, perilaku didasarkan faktor kehendak yang melibatkan pertimbangan-pertimbangan untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perilaku; dimana dalam prosesnya, berbagai pertimbangan tersebut akan membentuk intensi untuk melakukan suatu perilaku.
Dalam theory of reasoned action dinyatakan bahwa intensi untuk melakukan suatu perilaku memiliki dua prediktor utama, yaitu attitude toward the behavior dan subjective norm. Pengembangan dari teori ini, planned behavior theory, menemukan prediktor lain yang juga memengaruhi intensi untuk melakukan suatu perilaku dengan memasukkan konsep perceived behavioral control. Sehingga terdapat tiga prediktor utama yang memengaruhi intensi individu untuk melakukan suatu perilaku, yaitu sikap terhadap suatu perilaku (attitude toward the behavior), norma subyektif tentang suatu perilaku (subjective norm), dan persepsi tentang kontrol perilaku (perceived behavioral control) (Ajzen, 2005).
Fishbein dan Ajzen (dikutip dalam Yuliana, 2004) memaparkan, planned behavior theory didasarkan atas pendekatan terhadap beliefs yang dapat mendorong individu untuk melakukan perilaku tertentu. Pendekatan terhadap beliefs dilakukan dengan mengasosiasikan berbagai karakteristik, kualitas, dan atribut berdasarkan informasi yang telah dimiliki, kemudian secara otomatis akan terbentuk intensi untuk berperilaku. Pendekatan dalam planned behavior theory dikhususkan pada perilaku spesifik yang dilakukan individu dan dapat digunakan untuk semua perilaku secara umum (Ajzen; dikutip dalam Yuliana, 2004).
Ajzen (2005) menambahkan, seberapa besar pengaruh attitude toward the behavior, subjective norm, dan perceived behavioral control terhadap intensi untuk melakukan suatu perilaku ditentukan oleh intensi berperilaku yang akan digambarkan. Besarnya pengaruh attitude toward the behavior, subjective norm, dan perceived behavioral control kemungkinan pun berubah-ubah dari satu individu ke individu lainnya, atau dari satu populasi ke populasi lainnya.
1. Intensi
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) intensi diartikan sebagai maksud atau tujuan. Oxford Dictionary of Psychology (Coleman; dikutip dalam Christanti, 2008) mendefinisikan intensi sebagai suatu kecenderungan perilaku yang dilakukan dengan sengaja dan bukan tanpa tujuan. Sedangkan menurut Engel et al. (dikutip dalam Sukirno & Sutarmanto, 2007), intensi adalah kompetensi diri individu yang mengacu pada keinginan untuk melakukan suatu perilaku tertentu.
Fishbein dan Ajzen (dikutip dalam Yuliana, 2004) menjelaskan intensi sebagai representasi kognitif dan konatif dari kesiapan individu untuk menampilkan suatu perilaku. Intensi merupakan penentu dan disposisi dari perilaku, hingga individu memiliki kesempatan dan waktu yang tepat untuk menampilkan perilaku tersebut secara nyata. Dharmmesta (dikutip dalam Sukirno & Sutarmanto, 2007) menambahkan, intensi merupakan perantara faktor-faktor motivasional yang memiliki dampak pada perilaku.
Secara spesifik, dalam planned behavior theory, dijelaskan bahwa intensi untuk melakukan suatu perilaku adalah indikasi kecenderungan individu untuk melakukan suatu perilaku dan merupakan anteseden langsung dari perilaku tersebut. Intensi untuk melakukan suatu perilaku dapat diukur melalui tiga prediktor utama yang memengaruhi intensi tersebut, yaitu attitude toward the behavior, subjective norm, dan perceived behavioral control (Ajzen, 2006).
Secara umum, jika individu memiliki intensi untuk melakukan suatu perilaku maka individu cenderung akan melakukan perilaku tersebut; sebaliknya, jika individu tidak memiliki intensi untuk melakukan suatu perilaku maka individu cenderung tidak akan melakukan perilaku tersebut (Ajzen; dikutip dalam Yuliana, 2004). Namun intensi individu untuk melakukan suatu perilaku memiliki keterbatasan waktu dalam perwujudannya ke arah perilaku nyata, maka dalam melakukan pengukuran intensi untuk melakukan suatu perilaku perlu untuk diperhatikan empat elemen utama dari intensi, yaitu target dari perilaku yang dituju (target), tindakan (action), situasi saat perilaku ditampilkan (contex), dan waktu saat perilaku ditampilkan (time) (Fishbein & Ajzen; dikutip dalam Yuliana, 2004).
2. Attitude toward the Behavior
Pada eksperimen awal mengenai waktu reaksi, para eksperimenter menggunakan istilah sikap untuk menjelaskan kesiapan subyek untuk bereaksi terhadap suatu set stimulus (Himmelfarb & Eagly; dikutip dalam Suryani, 2007). Saat ini, istilah sikap banyak digunakan oleh masyarakat luas untuk menggambarkan tingkah laku seseorang. Munculnya sikap yang memengaruhi perilaku adalah melalui suatu proses pengambilan keputusan yang teliti dan beralasan, dan dampaknya terbatas hanya pada tiga hal, yaitu: (a) perilaku tidak banyak ditentukan oleh sikap umum, tetapi oleh sikap spesifik terhadap suatu perilaku; (b) perilaku tidak hanya dipengaruhi oleh sikap, tetapi juga dipengaruhi oleh norma subyektif; (c) sikap terhadap perilaku bersama dengan norma subyektif membentuk intensi untuk melakukan suatu perilaku tertentu (Fishbein & Ajzen, 1975). Dari beberapa penelitian lanjutan, Ajzen menambahkan satu determinan lagi yang dapat memengaruhi intensi berperilaku individu, yaitu persepsi tentang kontrol perilaku (perceived behavioral control).
Ajzen (2005) memaparkan sikap terhadap suatu perilaku merupakan suatu fungsi yang didasarkan oleh belief yang disebut sebagai behavioral beliefs, yaitu belief individu mengenai konsekuensi positif dan atau negatif yang akan diperoleh individu dari melakukan suatu perilaku (salient outcome beliefs). Meskipun seorang individu kemungkinan memiliki banyak belief mengenai konsekuensi dari melakukan suatu perilaku, namun hanya sebagian kecil saja dari sejumlah belief tersebut yang dapat diakses; dimana merupakan belief individu mengenai konsekuensi yang akan diperoleh dari melakukan suatu perilaku atau disebut sebagai salient outcome beliefs.
Secara spesifik, dalam planned behavior theory, sikap terhadap suatu perilaku (attitude toward the behavior) didefinisikan sebagai derajat penilaian positif atau negatif individu terhadap suatu perilaku. Attitude toward the behavior ditentukan oleh kombinasi antara belief individu mengenai konsekuensi positif dan atau negatif dari melakukan suatu perilaku (behavioral beliefs) dengan nilai subyektif individu terhadap setiap konsekuensi berperilaku tersebut (outcome evaluation).
Secara umum, semakin individu memiliki penilaian bahwa suatu perilaku akan menghasilkan konsekuensi positif maka individu akan cenderung bersikap favorable terhadap perilaku tersebut; sebaliknya, semakin individu memiliki penilaian bahwa suatu perilaku akan menghasilkan konsekuensi negatif maka individu akan cenderung bersikap unfavorable terhadap perilaku tersebut (Ajzen, 2005).
3. Subjective Norm
Hasil dari menampilkan suatu perilaku adalah ditentukan oleh kesetujuan atau ketidaksetujuan orang lain atau kelompok tertentu. Kesetujuan atau ketidaksetujuan ini dapat mengarah pada adanya penghargaan atau hukuman atas perilaku yang ditampilkan individu. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dalam menampilkan suatu perilaku perlu adanya pemikiran dari individu lain yang akan dijelaskan melalui norma subyektif. Planned behavior theory memerhatikan elemen sosial dari perilaku seorang individu melalui norma subyektif ini (Ajzen; dikutip dalam Yuliana, 2004).
Ajzen (2005) memaparkan subejctive norm merupakan fungsi yang didasarkan oleh belief yang disebut sebagai normative beliefs, yaitu belief mengenai kesetujuan dan atau ketidaksetujuan seseorang maupun kelompok yang penting bagi individu terhadap suatu perilaku (salient referent beliefs). Ajzen (2006) menambahkan, pada beberapa perilaku, rujukan sosial yang dianggap penting juga memasukkan rujukan sosial yang berasal dari orang tua, pasangan pernikahan, sahabat, rekan kerja, dan rujukan lain yang berhubungan dengan suatu perilaku.
Secara spesifik, dalam planned behavior theory, norma subyektif tentang suatu perilaku (subjective norm) didefinisikan sebagai persepsi individu tentang tekanan sosial untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perilaku. Subjective norm ditentukan oleh kombinasi antara belief individu tentang kesetujuan dan atau ketidaksetujuan seseorang maupun kelompok yang penting bagi individu terhadap suatu perilaku (normative beliefs), dengan motivasi individu untuk mematuhi rujukan tersebut (motivation to comply).
French dan Raven (dikutip dalam Fishbein & Ajzen, 1975) menjelaskan bahwa motivation to comply sebagai salah satu hal yang memengaruhi nilai norma subyektif tentang suatu perilaku adalah dipengaruhi oleh kekuatan sosial. Kekuatan sosial yang dimaksud terdiri dari penghargaan atau hukuman yang diberikan sumber rujukan kepada individu, rasa suka individu terhadap sumber rujukan, seberapa besar individu mengganggap sumber rujukan sebagai seorang ahli, dan adanya permintaan dari sumber rujukan tersebut.
Secara umum, semakin individu mempersepsikan bahwa rujukan sosialnya merekomendasikan untuk melakukan suatu perilaku maka individu akan cenderung merasakan tekanan sosial untuk melakukan perilaku tersebut; sebaliknya, semakin individu mempersepsikan bahwa rujukan sosialnya merekomendasikan untuk tidak melakukan suatu perilaku maka individu akan cenderung merasakan takanan sosial untuk tidak melakukan perilaku tersebut (Ajzen, 2005).
4. Perceived Behavioral Control
Selain attitude toward the behavior dan subjective norm, dalam planned behavior theory terdapat pula faktor individual, yaitu persepsi tentang kontrol perilaku (perceived behavioral control). Secara konseptual, perceived behavioral control diharapkan untuk memoderasi pengaruh intensi pada perilaku yang dilakukan individu; sehingga suatu intensi yang kuat akan menghasilkan perilaku hanya jika perceived behavioral control yang dimiliki individu juga kuat.
Ajzen (2006) menyatakan bahwa intensi dan perceived behavioral control adalah berpengaruh terhadap suatu perilaku yang dilakukan oleh individu, namun pada umumnya, intensi dan perceived behavioral control tidak memiliki hubungan yang signifikan. Hal ini dikarenakan setiap individu memiliki kontrol penuh terhadap perilaku yang akan ditampilkannya (Nelson, Fishbein, & Stasson; dikutip dalam Abrams & Moura, 2001). Azwar (dikutip dalam Christanti, 2008) menambahkan, perceived behavioral control sangat penting artinya ketika rasa percaya diri individu sedang dalam kondisi yang rendah.
Ajzen (2006) memaparkan perceived behavioral control sebagai fungsi yang didasarkan oleh belief yang disebut sebagai control beliefs, yaitu belief individu mengenai faktor pendukung dan atau penghambat untuk melakukan suatu perilaku (salient control beliefs). Belief tentang faktor pendukung dan penghambat untuk melakukan suatu perilaku didasarkan pada pengalaman terdahulu individu tentang suatu perilaku, informasi yang dimiliki individu tentang suatu perilaku yang diperoleh dengan melakukan observasi pada pengetahuan yang dimiliki diri maupun orang lain yang dikenal individu, dan juga oleh berbagai faktor lain yang dapat meningkatkan ataupun menurunkan perasaan individu mengenai tingkat kesulitan dalam melakukan suatu perilaku.
Secara spesifik, dalam planned behavior theory, persepsi tentang kontrol perilaku (perceived behavioral control) didefinisikan sebagai persepsi individu mengenai kemudahan atau kesulitan untuk melakukan suatu perilaku. Perceived behavioral control ditentukan oleh kombinasi antara belief individu mengenai faktor pendukung dan atau penghambat untuk melakukan suatu perilaku (control beliefs), dengan kekuatan perasaan individu akan setiap faktor pendukung ataupun penghambat tersebut (perceived power control).
Secara umum, semakin individu merasakan banyak faktor pendukung dan sedikit faktor penghambat untuk dapat melakukan suatu perilaku, maka individu akan cenderung mempersepsikan diri mudah untuk melakukan perilaku tersebut; sebaliknya, semakin sedikit individu merasakan sedikit faktor pendukung dan banyak faktor penghambat untuk dapat melakukan suatu perilaku, maka individu akan cenderung mempersepsikan diri sulit untuk melakukan perilaku tersebut (Ajzen, 2006).
Faktor Eksternal yang Memengaruhi Attitude toward the Behavior, Subjective Norm, dan Perceived Behavioral Control
Berdasarkan planned behavior theory, ada tiga variabel yang menentukan intensi, dan yang selanjutnya akan menentukan perilaku, yaitu attitude toward the behavior, subjective norm, dan perceived behavioral control. Ketiga variabel tersebut, attitude toward the behavior, subjective norm, dan perceived behavioral control, kemungkinan dipengaruhi oleh berbagai faktor eksternal yang dimiliki oleh individu. Dengan kata lain, individu yang tumbuh dan berkembang di lingkungan sosial yang berbeda akan memperoleh informasi yang berbeda pula mengenai berbagai hal; dimana dapat menjadi penentu attitude toward the behavior, subjective norm, dan perceived behavioral control yang dimiliki individu.
Ajzen (2005) mengidentifikasi faktor-faktor eksternal yang memengaruhi attitude toward the behavior, subjective norm, dan perceived behavioral control ke dalam tiga kategori, yaitu (a) faktor personal yang terdiri dari sikap secara umum, kepribadian, nilai hidup, emosi, dan intelijensi; (b) faktor sosial, terdiri dari usia, jenis kelamin, etnis, tingkat pendidikan, penghasilan, dan kepercayaan atau agama; (c) faktor informasi, terdiri dari pengalaman, pengetahuan, dan pemberitaan media massa.
Konsep Pengukuran Intensi dalam Planned Behavior Theory
Teori tindakan terencana atau planned behavior theory menyatakan bahwa intensi individu untuk melakukan suatu perilaku dapat diprediksi dengan menggambarkan tiga prediktor utama yang memengaruhi intensi tersebut, yaitu attitude toward the behavior, subjective norm, dan perceived behavioral control. Ajzen (2005) menjelaskan bahwa konsep pengukuran intensi dalam planned behavior theory adalah menggunakan teknik analisis regresi berganda (multiple linear regression) untuk menganalisis multiple correlation atau hubungan antar ketiga prediktor dan standardized regression atau kontribusi dari ketiga prediktor dalam memengaruhi intensi untuk melakukan suatu perilaku tertentu.
Fishbein dan Ajzen (2010) memaparkan, terdapat beberapa tahapan dalam melakukan pengukuran intensi berdasarkan planned behavior theory, antara lain: mendefinisikan perilaku yang ingin diteliti berdasarkan target, aksi, konteks, dan waktu; menentukan populasi penelitian; dan merumuskan item yang akan digunakan dalam alat ukur. Ada tiga tahap dalam merumuskan item-item yang akan digunakan dalam alat ukur, yaitu:
Pertama, melakukan elisitasi yang merupakan prosedur untuk mendapatkan sejumlah belief tentang konsekuensi positif dan atau negatif dari melakukan suatu perilaku (salient outcome beliefs), sejumlah belief mengenai kesetujuan dan atau ketidaksetujuan seseorang maupun kelompok yang penting bagi individu terhadap suatu perilaku (salient referent beliefs), dan sejumlah belief mengenai faktor pendukung dan atau penghambat untuk melakukan suatu perilaku (salient control beliefs). Prosedur elisitasi dilakukan dengan memberikan pertanyaan dalam bentuk free response format kepada sejumlah sampel dari populasi penelitian yang telah diketahui.
Kedua, setelah sejumlah belief didapatkan, tahap selanjutnya adalah menentukan dan menganalisis belief, yaitu dengan mengorganisasi dan mengidentifikasi belief–belief yang telah diperoleh menjadi model salient outcome beliefs, model salient referent beliefs, dan model salient control beliefs. Tahap organisasi dan identifikasi dapat dilakukan peneliti dengan menggunakan common sense (Fishbein & Ajzen, 1975).
Ketiga, setelah model salient outcome beliefs, model salient referent beliefs, dan model salient control beliefs teridentifikasi, tahap selanjutnya adalah merumuskan item-item yang akan digunakan dalam alat ukur berdasarkan model salient outcome beliefs, model salient referent beliefs, dan model salient control beliefs. Model salient outcome beliefs digunakan untuk merumuskan butir-butir pernyataan yang mengukur behavioral beliefs dan outcome evaluation, model salient referent beliefs digunakan untuk merumuskan butir-butir pernyataan yang mengukur normative beliefs dan motivation to comply, dan model salient control beliefs digunakan untuk merumuskan butir-butir pernyataan yang mengukur control beliefs dan perceived power control. Selain itu, juga dimasukkan pengukuran mengenai intensi untuk melakukan suatu perilaku, pengukuran mengenai perilaku nyata yang dilakukan pada masa lampau (past behavior), serta pengukuran mengenai karakteristik demografis, kepribadian, dan faktor eksternal lainnya yang perlu untuk dimasukkan.
Editor : Sigit Ardho
Related Posts